Oleh: Asep Abdillah
Dikisahkan seorang Sufi terkenal Jalaludin El-Rumi, suatu ketika ketahuan sedang mencari sesuatu. Ia tampak mencari barang yang hilang di bawah pohon. Seseorang yang kebetulan lewat bertanya kepadanya Sang Sufi:
"Hai Fulan, sedang apakah gerangan anda seperti mencari sesuatu yang hilang?"
" ya, aku kehilangan sebuah Jarum" Jawab Jalaludin.
" Kalau boleh tahu, Dimanahkah hilangnya Jarum itu, ?" tanya musafir.
" di Rumahku"..
"Maaf Fulan, ? kenapa Anda mencarinya di sini, di luar rumah? bukankah Jarum itu hilang di dalam rumahmu?"
" Iya betul, tapi di rumahku gelap sekali"..aku tak bisa melihat apa-apa, sedangkan di sini keadaannya terang," jawab Ar-Rumi dengan kalem.
Pembaca yang budiman..
Anda pasti bisa mencerna sekelumit cerita di atas. Dan mungkin sampai pada kesimpulan, bahwa Sang Sufi Ar-Rumi melakukan tindakan sia-sia. Mana mungkin jarum yang hilang di dalam rumahnya, tiba-tiba dia mencarinya di luar rumah? Apakah dapat ketemu di luar rumah? Adakah nilai-nilai kebenaran dari ucapan Sang Sufi?
kira-kira, apa makna filosofis yang terkandung dari cerita tersebut?
Pertama; Jarum yang hilang di dalam rumah, pasti hilangnya di sekitar rumah dan sekitarnya. Keadaan rumah begitu gelap, sehingga menyulitkan untuk mencari Jarum. Sang Guru Sufi memutuskan untuk mencari Jarum, di luar rumah, tepatnya di bawah pohon yang rindang dan terang benderang. Rasanya tidak nyambung dan tak akan berhasil.
Bila dianalisis bersama, sesungguhnya nasihat yang ingin disampaikan Jalaludin Ar-Rumi adalah; bahwa mencari sesuatu ditempat yang terang lebih mudah daripada mencari sesuatu barang yang hilang di tempat yang gelap gulita. Itulah nilai ucapan kebenarannya. Kadang-kadang pikiran dan logika seseorang sufisme jauh melampaui batas-batas logika orang kebanyakan, termasuk memberi nasihat bagi pengagumnya.
Apa hubungannya dengan nilai sosial dari cerita terebut?
Mau dikaitkan dengan penilaian seseorang? bisa juga.
Dalam pergaulan kita kadang 'dipaksa' untuk memilih suka atau tidak suka terhadap seseorang. Bahkan lebih buruknya, bila kita benci seseorang, nilai-nilai kebenaran yang ada pada dirinya seakan sirna. Semua perilaku, ucapan dan tindak-tanduknya tak ada benarnya. jika kita menilai sekilas apa yang dilakukan sang sufi pasti salah. karena mungkin kita cepat mengambil kesimpulan atau tak merenung apa yang dilakukan sang Sufi.
Jika diteliti dengan seksama ; bahwa pekerjaan sang sufi mencari benda yang hilang di rumahnya adalah sia-sia. karena barang itu atau jarum, hilangnya di luar rumah. memang tidak nyambung dan agak mustahil bakal ketemu apa yang ia cari. Tapi nilai kebenarannya adalah; premis; bahwa mencari di tempat yang terang, jauh lebih mudah daripada di tempat yang gelap. ini nilai kebenaran ucapannya.
Persis seperti cerita Sang Sufi di atas. Karena kita menilai seseorang dan menganggapnya salah karena unsur kebencian maka tak ada nilai kebenaran yang ia lakukan meskipun ia melakukan hal yang benar dan positif. Hal itu karena tertutup oleh hawa nafsu yang namanya kebencian. Kebalikan dari benci adalah suka.
Bisakah seseorang berpikir objektif tatkala dalam hatinya tertanam benih kebencian? sulit memang.
Sebaliknya, bila rasa suka tertanam dalam diri seseorang, dalam menilai orang akan positif. Rasa suka akan timbul karena berbagai hal. Begitu pula rasa benci. Sifat naluri manusia dalam bergaul akan diwarnai dimensi, baik-buruk, suka-tidak suka dan kasih sayang atau rasa tidak simpati.
Pandangan orang yang ridla terhadap temannya, atau rasa suka, maka akan ada tantangan apabila kawannya tersebut berbuat tidak baik. Kendalanya adalah, 'sungkan' untuk mengatakan bahwa hal itu salah, atau tidak baik. Hal itu terjadi karena kedekatan dan saking akrabnya berteman dengan orang tersebut. Maka sikap Istiqomah dalam menyampaikan hak menjadi sangat penting. Di dalam keadaan Apa pun. objektif dalam menilai penting baik itu kepada kawan akrab, saudara, suami atau istri dan kepada anak-anak.
Sebuah ungkapan mengatakan; cintailah seseorang sewajarnya, suatu saat boleh jadi ia akan menjadi musuhmu. Dan bencilah seseorang sewajarnya, boleh jadi suatu saat ia akan menjadi teman akrabmu. Maka dalam menilai seseorang, bahkan dalam rasa benci berkecamuk dalam diri sekalipun, tetaplah berpandangan bahwa, masih ada sifat dan unsur positif dari diri seseorang yang kita benci sekalipun.
Terpenting cepat Islah. Perbaiki hati dan jalin kembali tali persaudaraan dan rekatkan sehingga menjadi ikatan yang kuat. Seperti cerita Sang Sufi Jalaluddin El-Rumi, yang memberi inspirasi; bahwa nilai kebenaran selalu ada, dalam menilai seseorang, bahkan kadang tak terlihat dan tak terpikirkan oleh sebagian orang, kecuali oleh yang berpikir secara mendalam. Raasikhuunn fil-lmi atau dalam bahas filsafat Heurmenetik.
Wassalam.
0 Komentar